HAUL HAZIM AMIR: “Berguru Kepada Alm. Bapak DR. Hazim Amir”


MALANG PAGI – “Kapan seseorang itu akan mati, apakah saat ia di medan perang? Apakah saat ia terbaring di rumah sakit? Atau usai makan sup jamur beracun? Seseorang akan mati apabila dia dilupakan. Dan nyatanya almarhum Hazim Amir tidak mati, beliau masih hidup, masih diingat dengan kegiatan Budaya di malam ini.” (Ibu Astuti, istri alm. Bapak DR. Hazim Amir).
Acara haul Almarhum Bapak DR. Hazim Amir jatuh hari Minggu, 17 Mei 2016. Acara yang bertajuk “DR. Hazim Amir Menanam Ingat” ini diprakarsai dan dilaksanakan oleh teater Tumbuh, kota Malang, yang diketuai Athenk N. Noer. Acara “besar” ini dihadiri puluhan seniman Malang Raya, budayawan, pers, mahasiswa, profesional dan masyarakat umum.
Acara digelar selepas guyuran hujan sepanjang sore di pelataran gedung Dewan Kesenian Malang (DKM), dimulai pukul 19.30 hingga sekitar pukul 22.00. Dalam dekap udara malam yang sejuk, kalau tak boleh dikata dingin, acara haul ini berlangsung meriah dan “gayeng”. Di pelataran gedung DKM para audiens duduk bersimpuh di lantai beralas tikar dan betah berlama-lama. Para undangan sengaja datang untuk mendengarkan kisah perjalanan hidup almarhum Bapak DR. Hazim Amir yang sarat nilai-nilai kemanusiaan, yang disampaikan oleh para murid dan sahabat karibnya .
PicsArt_06-13-05.05.43
Selama acara berlangsung, audiens tak hendak beranjak. Hal ini sebagaimana dikata moderator acara, Denny Mizwar, pegiat sastra di kota Malang, “Membicarakan almarhum Bapak Hazim Amir rasanya tak cukup hanya semalam, karena sesungguhnya banyak sekali laku dan pemikiran beliau yang patut ditularkan.” Acara haul inipun dibuka dengan doa untuk arwah almarhum, kemudian disusul sambutan panitia dan perwakilan keluarga yang diwakili istri almarhum, ibu Astuti. Setelah itu, Moderator, mempersilahkan rekan-rekan almarhum yang dipilih dipersilahkan menceritakan pengalaman-pengalaman masing-masing selama bergaul dengan almarhum DR. Hazim Amir. Ada 8 orang, antara lain: Bapak HM. Sattar, Bapak Herman Budiono, Bapak Profesor Syukur Gozali, Bapak Profesor Henry Supriyanto dan Profesor Djoko Saryono yang paling muda.

Membicarakan jagad kesenian di Malang Raya tempo doeloe, rasanya tak lengkap tanpa menyertakan peran tokoh besar yang satu ini, Almarhum Bapak DR. Hazim Amir. Beliau dikenal bukan saja sebagai seorang pendidik, namun juga sebagai seorang Budayawan besar yang pernah dimiliki kota Malang, bahkan dimiliki Indonesia. Penulis beruntung sekali pernah jumpa dan kenal beliau, meski tidak panjang waktu. Kami bertemu di rumah Bapak HM.Sattar, di pagi hari selepas beliau berolah raga, jalan pagi. Kami bersama tuan rumah seringnya duduk di “bale bengong” kecil yang terletak di atas kolam ikan. Dengan disuguh teh atau kopi jahe racik yang hangat, kami bisa cukup lama berdiskusi. Banyak hal yang kami bicarakan, dari perkembangan dunia seni rupa, seni pertunjukkan tradisi dan tentu seni teater. Kadang juga seputar perkembangan apreasisi masyarakat. Kesan saya pribadi, almarhum Bapak DR. Hazim Amir dengan perawakannya yang tinggi besar, wajahnya selalu menyandang senyum, sungguh mencerminkan pribadi yang ramah dan bersahabat.
Bapak DR. Hazim Amir lahir di Yogyakarta, Selasa Kliwon,3 Agustus 1937. Ayahnya seorang ulama besar yang taat dan taqwa kepada tuntunan hidupnya, agama Islam. Almarhum terlahir sebagai anak bungsu dari 3 bersaudara. Beliau menikah dengan Endang Angreni pada 20 Januari 1972. Pada 9 Mei 1973 mereka dikaruniai seorang putri yang diberi nama Renee Sariwulan. Namun disayangkan, sebagaimana takdir tidak dapat ditolak, sang isteri tercinta itu dipanggil pulang ke Rachmatullah pada Jumat, 2 Maret 1984. Lima tahun berjalan, tepatnya 22 Oktober 1988, Bapak Hazim Amir menikah kembali dengan perempuan muda kelahiran kota Malang bernama Astuti. Kurun 8 tahun perjalanan pernikahan mereka, tepatnya tanggal 20 Mei tahun 1996, lelaki gagah berkulit langsat ini mendapat giliran untuk “pulang” kehadiratNya pula. Tentu saat itu langit kesenian di Indonesia atau khususnya langit kesenian di kota Malang, tiba-tiba redup mendekap duka sebab kehilangan seorang budayawan terbaiknya.
PicsArt_06-13-05.06.14
Hazim Amir kecil, semula tinggal dengan kedua orang tuanya di Yogyakarta. Usia 13 tahun (1950) setamat SR (Sekolah Rakyat), beliau melanjutkan ke jenjang SMP hingga tamat pada tahun 1953. Tahun 1955-1958 beliau kembali melanjutkan sekolahnya ke SGA (Sekolah Guru A-waktu itu calon Guru SMP). Selanjutnya Hazim hijrah ke Malang untuk melanjutkan studi ke FKIP Universitas Airlangga Cabang Malang, jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Tahun 1961, Hazim Amir lulus tingkat Sarjana Muda (BA). Sejak saat itu pula beliau diangkat jadi Asisten Dosen sampai akhirnya menjadi dosen tetap di FPBS (Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra) IKIP Negeri Malang.
Menapak pertengahan tahun 1967, Bapak Hazim Amir disibukkan persiapannya untuk melanjutkan study ke USA-University of Michigan. Karena hal inilah revisi skripsi kesarjanaannya belum sempat beliau lakukan. Kabar dari USA menyebutkan bahwa per tanggal 17 Desember 1968, seorang Hazim Amir dinyatakan lulus dan berhak menyandang gelar Master of Arts (MA). Tak puas di sana, beliau kembali melanjutkan kuliahnya ke jenjang Doktoral dari tahun 1977 hingga tahun 1978 di University of Hawai. Tahun 1985 Hazim Amir berhasil lulus program Doktoral dengan desertasinya berJudul “Nilai-nilai Etis dalam Wayang dan Pendidikan Watak Guru.” Sepulang dari Amerika, beliau menjadi dosen tetap di IKIP Malang dan mendapat jatah rumah di Perumahan IKIP, tepatnya di Jalan Muntilan 4 Malang. (sekarang sudah menjadi sisi barat Graha Rektorat Universitas Negeri Malang). Rumah “jatah” ini beliau tempati bersama keluarga sampai tutup usia.

Jagad kesenian Malang Raya sudah merasakan hasil keterlibatan almarhum Bapak DR. Hazim Amir dalam membangun dan mengembangkan kesenian masyarakatnya. Contoh: ketika beliau dan kawan-kawannya mendirikan Dewan Kesenian Malang (DKM) tanggal 5 Desember 1975. Dan mendirikan teater “Mlarat”. Selain itu beliau banyak membantu kelompok-kelompok kesenian rakyat tradisional maupun modern untuk berkembang. Dalam kaitan ini, dicatat oleh Profesor Tengsoe Cahyono, mantan mahasiswanya, dalam sebuah blog miliknya: “Menurut pak Hazim, Teater itu “mixed art”. Seorang seniman teater harus akrab dengan seni sastra, seni musik, seni rupa. Lebih jauh almarhum juga memberi nasehat kepadanya menyoal puisi dan kemanusiaan: “Sebuah puisi yang baik bisa saja berangkat dari ide kecil, namun memiliki amanat yang sangat penting bagi kemanusiaan.” (Tengsoe Cahyono, Blog, Kedai Puisi: 21/5/2016, pk: 11.12 ). Keterlibatan almarhum dalam berbagai bidang kesenian itulah yang penting dan menarik untuk dikaji lebih dalam.
Sebagai pecinta seni, rumah beliau di kompleks perumahan dosen IKIP yang bertype joglo, dipenuhi benda-benda seni, dari buku-buku sebi budaya, lukisan, guci-guci antik, wayang kulit, gerabah dan banyak lagi lainnya. Menurut Profesor Sukur Gozali, “Berbagai koleksi barang seni tersebut diharapkan beliau dapat memicu rasa atau untuk juga untuk bisa direspon rekan-rekannya di teater ‘Mlarat’. Selain itu, di rumah beliau sering kedatangan tamu-tamu ‘besar’ yang umumnya berstatus Budayawan Nasional. Kedatangan tamu-tamu tersebut dimaksudkan pak Hazim Amir dapat menjadi perjumpaan yang produktif, perjumpaan yang memunculkan dialog antara sang tamu dengan rekan-rekan teaternya.”

Secara manusia, almarhum DR. Hazim Amir memiliki selera humor tinggi dan menyimpan rasa kemanusiaan yang tebal. Hal ini terungkap dalam catatan Profesor DR. Djoko Saryono. Dalam perkisahannya, “Pada suatu pagi pak Hazim singgah ke rumah saya,” demikian Profesor Djoko memulai, “Pak Hazim datang ke rumah saya dengan menenteng ‘setundun’ pisang ranum yang katanya baru dibeli dari seorang penjaja buah-buahan yang sudah tua yang memikul dagangannya. Dengan kata lain dia membeli pisang karena berempati kepada lelaki tua penjual buah-buahan itu, bukan membutuhkan pisang! Menimbang hal ini tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Hazim Amir merupakan seorang humanis tulen/ par excellence yang memiliki energy kemanusiaan melimpah pada satu sisi dan pada sisi lain stamina perjuangan kemanusiaan yang tangguh.”
PicsArt_06-13-05.06.40
Dalam alenia berikutnya Profesor Djoko melanjutkan, “Menurut pak Hazim, mereka semua (lelaki penjual pisang) adalah manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia, diperlakukan setara sebagai sesama manusia, akademisi cum intelektual tidak boleh jumawa dengan ilmu dan posisi sosialnya, dan yang merasa manusia biasa tidak boleh merunduk-runduk menghamba kepada manusia yang merasa lebih tinggi.” Melihat cara berpikir dan sikap perilaku almarhum yang sangat humanis, tentu dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan dan hal ini jarang ditonjolkan. “Pak Hazim itu sesungguhnya juga seorang pengkotbah yg baik dan lantang. Setiap Ramadhan di masjid al-Hikmah beliau senantiasa diminta untuk memberi kultum atau kotbahnya,” ucap Prof. Djoko di malam itu.

Ditambahkan lagi oleh salah satu teman almarhum, bahwa pak Hazim sekali pernah diminta menjadi imam dalam sebuah ibadah. Cara beliau mengimami begitu khusuk dan benar adanya. Jadi tak ada alasan mengatakan bahwa almarhum hanya bisa berteori soal agama. Oleh karena nilai-nilai yang tertanam dalam sikap inilah kembali dikatakan Prof. Djoko, “Almarhum sebagai pribadi sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, memiliki empati, simpati dan pemihakan kepada yang terpinggirkan, tertindas dan miskin. Beliau tampaknya lebih terpesona, menyukai dan menjelajahi spiritualitas atau religiositas daripada formalisme agama.”
Dalam ingatan Bapak HM. Sattar, sahabat almarhum, menuturkan bahwa pak Hazim itu memiliki jiwa Pendidik. Beliau senantiasa mendukung gerakan-gerakan budaya yang dilakukan oleh anak muda. Namun untuk memberi penilaian atau pengakuan status seseorang, almarhum biasanya memberi catatan waktu yakni harus bertahan berkarya melewati bilangan 5 tahun. Pak Hazim juga selalu mendorong siapa saja untuk terus sekolah dan belajar (minimal S1), hal itu dilakukan dengan tulus dengan maksud agar yang didorong kelak punya kemampuan intelektual lebih dan bisa mengembangkan dirinya sendiri. Menurut HM. Sattar, metode yang dipakai pak Hazim dalam mendidik seorang actor adalah “menggelinding”. “Cara almarhum dalam mendidik teman-teman sebagai aktor bersifat “partisipatoris”, maksudnya beliau selalu memberi “ruang” pada sang aktor untuk menunjukkan karakter dirinya sendiri secara kuat. ‘Menggelinding’ juga dimaksudkan bahwa beliau tidak melakukan rekayasa yang berlebih pada penampilan sang aktor. Misalnya seorang yang diberi peran anak-anak, maka dia tidak harus dikuncir atau di-make up lebih untuk menjadi anak-anak. Disini sang aktor ditantang untuk dapat tampil kuat dalam penghayatan sikap dan perilaku anak-anak. Seringkali almarhum memberi kebebasan dialog dan mengimprovisasi gerak dalam berteater selama hal itu tidak menyimpang dari pokok naskahnya.”
PicsArt_06-13-05.07.01
“Manajemen ‘Mengglinding’ menjadi ciri khas pak Hazim,” ucap pak Sattar, “Disini dimaksudkan bahwa secara tegas almarhum biasanya akan menunjuk siapa dan menjabat sebagai apa. Pak Hazim Amir akan menggunakan pola saling dukung antar pemain atau kerja sama. Namun hal ini dilakukan secara ‘Feksibilitas’ dan ‘egaliter’ khas ala almarhum pak Hazim. Cara melatih semacam ini merupakan upaya memanusiakan manusia di dalam dunia teater.”
HM. Sattar memang dikenal memiliki keakraban yang cukup dengan almarhum, beliau dalam teater “Mlarat” sering di dapuk sebagai manajer produksi. Kedekatan Sattar dengan almarhum Hazim Amir mungkin karena kesamaan profesi sebagai dosen, seniman dan juga mungkin karena kedekatan tempat tinggalnya. “Nasehat pak Hazim kepada saya dan kawan-kawan di teater “Mlarat”, ‘sebagai seniman kita jangan pernah minta-minta (mengemis), karena itu sebelum menjadi seniman semestinya kita menjadi ‘orang’ terlebih dulu,” tutup lelaki berperawakan besar dengan suara lantang dan sedikit beraksen Madura. Seirama dengan hal diatas diungkap juga oleh Bapak Djati Kusumo, personel lawak ‘Kwatet S’, “Almarhum pak Hazim mengatakan kepada saya begini, ‘Jadi Seniman itu jangan mata duitan, sebab akan melunturkan nilai karya kesenimanannya. Karena itu seniman mesti harus bisa memanej keuangannya sendiri.”
Bapak DR. Hazim Amir sebagai seorang intelektual tinggi, sebagai seorang budayawan besar, sebagai seorang Sutradara teater handal dan seorang intelektual yang memiliki banyak pengalaman. Hal demikian terungkap dalam tuturan mantan aktornya yang bernama Herman Budiono. Menurut Herman, “Sebagai seorang sutradara yang berpengalaman dan hebat, almarhum Hazim Amir rasanya tidak pernah memaksakan peran kepada seseorang. Beliau tidak melayani ‘pesanan’. Beliau senantiasa bersikap terbuka dan jujur. Menyangkut peran, Hazim Amir selalu memberikan peran pada orang atau aktor yang tepat. Contohnya, terhadap seorang aktornya yang bernama Dengkek. Karena aktor bernama Dengkek ini kebetulan berperawakan kecil dan bersifat meledak-ledak, maka oleh almarhum dicarikan peran yang sesuai dengan sifat dirinya. Maksud almarhum tentu ingin mengatakan bahwa setiap aktor harus bisa tampil kuat dengan karakternya sendiri. Dia harus bisa mengembangkan potensi dan jati dirinya sendiri untuk memerankan lakon yang diperankannya.”

Dikenang luas bahwa Hazim Amir sebagai tokoh yang “mandegani” teater “Mlarat” di Malang. Menurut Profesor Henry, sahabat almarhum di teater “Mlarat”, “Almarhum Bapak DR. Hazim Amir ini banyak terilhami oleh Jerzy Grotowski, seorang Dramawan besar, alumnus Lunacharsky Institute of Theater Arts. Hazim Amir memang kuat pada sisi penyutradaraan. Seingat saya, almarhum juga terinspirasi dramawan besar Sovyet bernama Stanislavky yang mementingkan karakter keaktoran dalam teater. Almarhum senantiasa menekankan pada ‘ke-aktor-an’ yang kuat, imajinasi yang kuat, berdisiplin tinggi dalam latihan dan terus membaca” demikian tuutur Profesor Henry, seorang budayawan yang turut membidani lahirnya Dewan Kesenian Malang. “ Tahun 1979, Kota Malang dipilih menjadi tempat pertemuan Dewan Kesenian se Indonesia. Almarhum Hazim Amir-lah tokoh dibalik peristiwa besar itu. Di pertemuan itu dihadiri Rustadi Karta Kusuma, Ikra Negara, Ramadhan KH. yang kemudian dijumpakan dengan Bapak Wali Kota Malang Bapak Kolonel Sugiono. Bahkan pak Sugiono terkesan dengan cara penampilan pak Hazim yang mengenakan kaos oblong putih dan celana jeans,” tutup Prof. Henry kemudian meneruskan dengan membaca 3 buah puisi.
Kala itu, dunia teater di Indonesia belum dapat dijadikan profesi, belum dapat dijadikan pegangan “hidup”, terutama secara ekonomi. Hal ini selalu diingkatkan oleh almarhum kepada setiap actor dan para sahabatnya. Seputar penciptaan aktor, Herman Budiono mengisahkan, “Begitu cintanya pak Hazim kepada dunia teater, sampai beliau tidak mengenal kata lelah dalam berpikir dan melatih. Disela latihan sering beliau mengingatkan kita untuk tidak mengandalkan hidup dari dunia teater; tapi justru sebaliknya, kita harus bisa menghidupi teater. Jangan main teater hanya untuk mencari tepuk tangan, tapi jadikan teater sebagai arena belajar ‘hidup’ agar kelak kita dapat menjadi manusia seutuhnya. Berkesenian itu adalah panggilan. Berkesenian itu harus ihklas sehingga kita bisa lebih menikmatinya.”

PicsArt_06-13-05.07.33
Sejak tahun 1964 sampai dengan tahun 1967, Bapak Hazim Amir aktif membina “Teater Kecil”, bersama Bapak Emil Sanossa, Bapak Harsono, Bapak Munajat, Timoer Djaelani, Timur Supeno. Pada 5 Desember tahun 1974 beliau bersama M.A. Icksan, IGN. Oka, Katjik Sutjipto, Harsono, Henri Supriyanto, Yasso Winarto, Djati Koesoemo, Janalis Janait dan Imam Hanafi merintis berdirinya Dewan Kesenian Malang. Pada saat itu juga beliau menjadi salah satu pengurus Dewan Kesenian Malang periode pertama. Tahun 1980 beliau mendirikan Teater “Mlarat” bersama M.Sattar, Parto, Dengkek dan kaawan-kawan. Teater “Mlarat” ini sempat mementaskan naskah besar karya Arifin C. Noer berjudul “Dalam Bayangan Tuhan”.
Professor Henry Supriyanto mengingatkan bahwa ketokohan pak Hazim Amir sebagai Seniman dan Budayawan Indonesia sudah diakui publik secara luas, “Budayawan besar seperti Emha Ainun Najib, Umar Kayam, Halim HD atau Suprapto Suryodarmo yang semuanya adalah pemikir dan pelaku budaya itu menaruh hormat kepada beliau,” tegas Profesor Henry berkenang ria.

Tak hanya itu, kebesaran almarhum sebagai seorang pendidik juga sudah diakui oleh koleganya yang tersebar luas di Indonesia. Terkait hal ini profesor Djoko Saryono menuturkan, “Hazim Amir sebagai seorang pendidik yang handal, selama itu juga beliau bisa dianggap telah menjaga metabolisme kebudayaan dan peradaban agar tetap sehat. Pola pendidikan yang dianut beliau bersifat Dialogis dan Humanistik.” Sifat humanistik ini dikisahkan Bung Yon Wahyuono pada sebuah kesempatan kepada penulis, “Hazim Amir sebagai budayawan suatu ketika merasa ‘geram’ mendapati situasi dunia, suasana yang tidak manusiawi, dimana negara-negara adidaya bersikap arogan kepada negara-negara miskin dan berkembang. Kala itu, Amerika terang-terangan hendak menyerang Irak dan Iran dengan alasan politik perminyakannya. Perlakuan Amerika yang tidak adil ini tentu akan memakan korban penduduk sipilnya. Disaat seperti itulah seorang Hazim Amir berteriak lantang. Teriakannya ia tulis dalam sebuah puisi pendek dan sempat dimuat dimedia Suara Indonesia. Puisi pendek itu kembali dibaca Bung Yon dengan suara tajam saat haul Hazim Amir di DKM. Puisi itu hanya berbunyi: “Cuk!”, puisi yang secara tafsir mengandung banyak persoalan dan meledak sebagai gugatan emosional yang intelektual. Karya itu menjadi puisi terpendek di dunia sastra kita selama ini.
Kalau mengamati cara almarhum pada waktu itu menularkan ilmunya, memang jauh berbeda, hal ini dikisahkan oleh professor Djoko Saryono yang menjadi mahasiswanya, “Almarhum Bapak DR. Hazim Amir adalah promotor dalam program doktoral saya di IKIP Malang. Selama dua tahun yang setiap minggunya sekali atau dua kali, saya harus hadir di rumah beliau untuk bimbingan desertasi saya. Dari perjumpaan yang intens tersebut saya dapat mengatakan bahwa Hazim Amir itu memiliki “pikiran” yang tersembunyi di dalam bahasa. Menurut saya, almarhum adalah salah satu pendidik profetik yang dimiliki oleh universitas Negeri Malang dengan cara mengajarnya yang dialogis, egaliter dan humanis. Saya kira juga amat unik pada masanya meski tanpa kehilangan obyektivitas kepada para mahasiswanya.”
Masih menurut Prof. Djoko, “Pada tahun 1984 almarhum menulis desertasi doktoralnya hingga mencapai ketebalan 1500 halaman. Oleh sang promotor, desertasi itu kemudian diminta untuk ditipiskan saja, meski tanpa dibaca lebih dahulu. Akhirnya desertasi itupun mengalami “pemangkasan” menjadi setebal 500 halaman. Desertasinya berorientasi kepada “Nilai-nilai Etis Dalam Wayang dan Pendidikan Watak Guru” (1984). Pemikiran Hazim Amir dalam Desertasi itu tentang “Pendidikan Karakter” tersebut nyatanya baru dibicarakan 3 tahun terakhir ini. Hal semacam ini menunjukkan bahwa pikiran beliau bukan saja visioner tapi sudah antisipatoris. Hazim Amir sejatinya adalah seorang pemikir yang kuat dan tajam, beliau boleh saya sebut sebagai ‘Resi’ namun juga ‘Begawan’ Peradaban yang memiliki jelajah sangat luas.
Karya-karya Hazim Amir sangat banyak baik dalam bentuk naskah drama, terjemahan maupun naskah penyutradaraan. Karya feature, artikel, cerpen, dan puisi terpublikasikan di berbagai media: Suara Indonesia , Surabaya Post, Jawa Pos,harian Surya dan buletin kampus IKIP Malang. Karya tulis dalam bentuk buku: “Nilai-nilai Etis Dalam Wayang ”, 1991, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan; “Hadiah Sang Bijak”, karya terjemahan bersama sang istri, Astuti Amir, “Sepuluh Cerpen Dunia”, 1984, Jakarta, Puspa Swara dan banyak lagi yang belum sempat diterbitkan.
PicsArt_06-13-05.05.22
In memoriam: DR. Hazim Amir-wafat pada Selasa Kliwon, 20 Mei 1997, pukul 07.35, dimakamkan di Pemakaman Umum Samaan Malang.

Malang, 26 Mei 2016.
Ditulis oleh: Bambang AW

Sumber:
- “Hazim Amir: Sang Humanis Transedental”, 16 Nopember 2015, Prof. DR. Djoko Saryono, diunggah di Blog, 26/5/2016-pk: 15.26
- Sarasehan Haul Hazim Amir tgl mei 2016 di Dewan Kesenian Malang
- Wawancara

- Repost Malang Pagi

Share this:

CONVERSATION