HAUL HAZIM AMIR: “Berguru Kepada Alm. Bapak DR. Hazim Amir”
MALANG PAGI – “Kapan seseorang itu akan mati, apakah
saat ia di medan perang? Apakah saat ia terbaring di rumah sakit? Atau
usai makan sup jamur beracun? Seseorang akan mati apabila dia dilupakan.
Dan nyatanya almarhum Hazim Amir tidak mati, beliau masih hidup, masih
diingat dengan kegiatan Budaya di malam ini.” (Ibu Astuti, istri alm.
Bapak DR. Hazim Amir).
Acara haul Almarhum Bapak DR. Hazim Amir jatuh hari Minggu, 17 Mei
2016. Acara yang bertajuk “DR. Hazim Amir Menanam Ingat” ini diprakarsai
dan dilaksanakan oleh teater Tumbuh, kota Malang, yang diketuai Athenk
N. Noer. Acara “besar” ini dihadiri puluhan seniman Malang Raya,
budayawan, pers, mahasiswa, profesional dan masyarakat umum.
Acara digelar selepas guyuran hujan sepanjang sore di pelataran
gedung Dewan Kesenian Malang (DKM), dimulai pukul 19.30 hingga sekitar
pukul 22.00. Dalam dekap udara malam yang sejuk, kalau tak boleh dikata
dingin, acara haul ini berlangsung meriah dan “gayeng”. Di pelataran
gedung DKM para audiens duduk bersimpuh di lantai beralas tikar dan
betah berlama-lama. Para undangan sengaja datang untuk mendengarkan
kisah perjalanan hidup almarhum Bapak DR. Hazim Amir yang sarat
nilai-nilai kemanusiaan, yang disampaikan oleh para murid dan sahabat
karibnya .
Selama acara berlangsung, audiens tak hendak beranjak. Hal ini
sebagaimana dikata moderator acara, Denny Mizwar, pegiat sastra di kota
Malang, “Membicarakan almarhum Bapak Hazim Amir rasanya tak cukup hanya
semalam, karena sesungguhnya banyak sekali laku dan pemikiran beliau
yang patut ditularkan.” Acara haul inipun dibuka dengan doa untuk arwah
almarhum, kemudian disusul sambutan panitia dan perwakilan keluarga yang
diwakili istri almarhum, ibu Astuti. Setelah itu, Moderator,
mempersilahkan rekan-rekan almarhum yang dipilih dipersilahkan
menceritakan pengalaman-pengalaman masing-masing selama bergaul dengan
almarhum DR. Hazim Amir. Ada 8 orang, antara lain: Bapak HM. Sattar,
Bapak Herman Budiono, Bapak Profesor Syukur Gozali, Bapak Profesor Henry
Supriyanto dan Profesor Djoko Saryono yang paling muda.
Membicarakan jagad kesenian di Malang Raya tempo doeloe, rasanya tak
lengkap tanpa menyertakan peran tokoh besar yang satu ini, Almarhum
Bapak DR. Hazim Amir. Beliau dikenal bukan saja sebagai seorang
pendidik, namun juga sebagai seorang Budayawan besar yang pernah
dimiliki kota Malang, bahkan dimiliki Indonesia. Penulis beruntung
sekali pernah jumpa dan kenal beliau, meski tidak panjang waktu. Kami
bertemu di rumah Bapak HM.Sattar, di pagi hari selepas beliau berolah
raga, jalan pagi. Kami bersama tuan rumah seringnya duduk di “bale
bengong” kecil yang terletak di atas kolam ikan. Dengan disuguh teh atau
kopi jahe racik yang hangat, kami bisa cukup lama berdiskusi. Banyak
hal yang kami bicarakan, dari perkembangan dunia seni rupa, seni
pertunjukkan tradisi dan tentu seni teater. Kadang juga seputar
perkembangan apreasisi masyarakat. Kesan saya pribadi, almarhum Bapak
DR. Hazim Amir dengan perawakannya yang tinggi besar, wajahnya selalu
menyandang senyum, sungguh mencerminkan pribadi yang ramah dan
bersahabat.
Bapak DR. Hazim Amir lahir di Yogyakarta, Selasa Kliwon,3 Agustus
1937. Ayahnya seorang ulama besar yang taat dan taqwa kepada tuntunan
hidupnya, agama Islam. Almarhum terlahir sebagai anak bungsu dari 3
bersaudara. Beliau menikah dengan Endang Angreni pada 20 Januari 1972.
Pada 9 Mei 1973 mereka dikaruniai seorang putri yang diberi nama Renee
Sariwulan. Namun disayangkan, sebagaimana takdir tidak dapat ditolak,
sang isteri tercinta itu dipanggil pulang ke Rachmatullah pada Jumat, 2
Maret 1984. Lima tahun berjalan, tepatnya 22 Oktober 1988, Bapak Hazim
Amir menikah kembali dengan perempuan muda kelahiran kota Malang bernama
Astuti. Kurun 8 tahun perjalanan pernikahan mereka, tepatnya tanggal 20
Mei tahun 1996, lelaki gagah berkulit langsat ini mendapat giliran
untuk “pulang” kehadiratNya pula. Tentu saat itu langit kesenian di
Indonesia atau khususnya langit kesenian di kota Malang, tiba-tiba redup
mendekap duka sebab kehilangan seorang budayawan terbaiknya.
Hazim Amir kecil, semula tinggal dengan kedua orang tuanya di
Yogyakarta. Usia 13 tahun (1950) setamat SR (Sekolah Rakyat), beliau
melanjutkan ke jenjang SMP hingga tamat pada tahun 1953. Tahun 1955-1958
beliau kembali melanjutkan sekolahnya ke SGA (Sekolah Guru A-waktu itu
calon Guru SMP). Selanjutnya Hazim hijrah ke Malang untuk melanjutkan
studi ke FKIP Universitas Airlangga Cabang Malang, jurusan Pendidikan
Bahasa Inggris. Tahun 1961, Hazim Amir lulus tingkat Sarjana Muda (BA).
Sejak saat itu pula beliau diangkat jadi Asisten Dosen sampai akhirnya
menjadi dosen tetap di FPBS (Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra) IKIP
Negeri Malang.
Menapak pertengahan tahun 1967, Bapak Hazim Amir disibukkan persiapannya
untuk melanjutkan study ke USA-University of Michigan. Karena hal
inilah revisi skripsi kesarjanaannya belum sempat beliau lakukan. Kabar
dari USA menyebutkan bahwa per tanggal 17 Desember 1968, seorang Hazim
Amir dinyatakan lulus dan berhak menyandang gelar Master of Arts (MA).
Tak puas di sana, beliau kembali melanjutkan kuliahnya ke jenjang
Doktoral dari tahun 1977 hingga tahun 1978 di University of Hawai. Tahun
1985 Hazim Amir berhasil lulus program Doktoral dengan desertasinya
berJudul “Nilai-nilai Etis dalam Wayang dan Pendidikan Watak Guru.”
Sepulang dari Amerika, beliau menjadi dosen tetap di IKIP Malang dan
mendapat jatah rumah di Perumahan IKIP, tepatnya di Jalan Muntilan 4
Malang. (sekarang sudah menjadi sisi barat Graha Rektorat Universitas
Negeri Malang). Rumah “jatah” ini beliau tempati bersama keluarga sampai
tutup usia.
Jagad kesenian Malang Raya sudah merasakan hasil keterlibatan
almarhum Bapak DR. Hazim Amir dalam membangun dan mengembangkan kesenian
masyarakatnya. Contoh: ketika beliau dan kawan-kawannya mendirikan
Dewan Kesenian Malang (DKM) tanggal 5 Desember 1975. Dan mendirikan
teater “Mlarat”. Selain itu beliau banyak membantu kelompok-kelompok
kesenian rakyat tradisional maupun modern untuk berkembang. Dalam kaitan
ini, dicatat oleh Profesor Tengsoe Cahyono, mantan mahasiswanya, dalam
sebuah blog miliknya: “Menurut pak Hazim, Teater itu “mixed art”.
Seorang seniman teater harus akrab dengan seni sastra, seni musik, seni
rupa. Lebih jauh almarhum juga memberi nasehat kepadanya menyoal puisi
dan kemanusiaan: “Sebuah puisi yang baik bisa saja berangkat dari ide
kecil, namun memiliki amanat yang sangat penting bagi kemanusiaan.”
(Tengsoe Cahyono, Blog, Kedai Puisi: 21/5/2016, pk: 11.12 ).
Keterlibatan almarhum dalam berbagai bidang kesenian itulah yang penting
dan menarik untuk dikaji lebih dalam.
Sebagai pecinta seni, rumah beliau di kompleks perumahan dosen IKIP yang
bertype joglo, dipenuhi benda-benda seni, dari buku-buku sebi budaya,
lukisan, guci-guci antik, wayang kulit, gerabah dan banyak lagi lainnya.
Menurut Profesor Sukur Gozali, “Berbagai koleksi barang seni tersebut
diharapkan beliau dapat memicu rasa atau untuk juga untuk bisa direspon
rekan-rekannya di teater ‘Mlarat’. Selain itu, di rumah beliau sering
kedatangan tamu-tamu ‘besar’ yang umumnya berstatus Budayawan Nasional.
Kedatangan tamu-tamu tersebut dimaksudkan pak Hazim Amir dapat menjadi
perjumpaan yang produktif, perjumpaan yang memunculkan dialog antara
sang tamu dengan rekan-rekan teaternya.”
Secara manusia, almarhum DR. Hazim Amir memiliki selera humor tinggi
dan menyimpan rasa kemanusiaan yang tebal. Hal ini terungkap dalam
catatan Profesor DR. Djoko Saryono. Dalam perkisahannya, “Pada suatu
pagi pak Hazim singgah ke rumah saya,” demikian Profesor Djoko memulai,
“Pak Hazim datang ke rumah saya dengan menenteng ‘setundun’ pisang ranum
yang katanya baru dibeli dari seorang penjaja buah-buahan yang sudah
tua yang memikul dagangannya. Dengan kata lain dia membeli pisang karena
berempati kepada lelaki tua penjual buah-buahan itu, bukan membutuhkan
pisang! Menimbang hal ini tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Hazim
Amir merupakan seorang humanis tulen/ par excellence yang memiliki
energy kemanusiaan melimpah pada satu sisi dan pada sisi lain stamina
perjuangan kemanusiaan yang tangguh.”
Dalam alenia berikutnya Profesor Djoko melanjutkan, “Menurut pak Hazim,
mereka semua (lelaki penjual pisang) adalah manusia yang harus
diperlakukan sebagai manusia, diperlakukan setara sebagai sesama
manusia, akademisi cum intelektual tidak boleh jumawa dengan ilmu dan
posisi sosialnya, dan yang merasa manusia biasa tidak boleh
merunduk-runduk menghamba kepada manusia yang merasa lebih tinggi.”
Melihat cara berpikir dan sikap perilaku almarhum yang sangat humanis,
tentu dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan dan hal ini jarang
ditonjolkan. “Pak Hazim itu sesungguhnya juga seorang pengkotbah yg baik
dan lantang. Setiap Ramadhan di masjid al-Hikmah beliau senantiasa
diminta untuk memberi kultum atau kotbahnya,” ucap Prof. Djoko di malam
itu.
Ditambahkan lagi oleh salah satu teman almarhum, bahwa pak Hazim
sekali pernah diminta menjadi imam dalam sebuah ibadah. Cara beliau
mengimami begitu khusuk dan benar adanya. Jadi tak ada alasan mengatakan
bahwa almarhum hanya bisa berteori soal agama. Oleh karena nilai-nilai
yang tertanam dalam sikap inilah kembali dikatakan Prof. Djoko,
“Almarhum sebagai pribadi sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan,
memiliki empati, simpati dan pemihakan kepada yang terpinggirkan,
tertindas dan miskin. Beliau tampaknya lebih terpesona, menyukai dan
menjelajahi spiritualitas atau religiositas daripada formalisme agama.”
Dalam ingatan Bapak HM. Sattar, sahabat almarhum, menuturkan bahwa
pak Hazim itu memiliki jiwa Pendidik. Beliau senantiasa mendukung
gerakan-gerakan budaya yang dilakukan oleh anak muda. Namun untuk
memberi penilaian atau pengakuan status seseorang, almarhum biasanya
memberi catatan waktu yakni harus bertahan berkarya melewati bilangan 5
tahun. Pak Hazim juga selalu mendorong siapa saja untuk terus sekolah
dan belajar (minimal S1), hal itu dilakukan dengan tulus dengan maksud
agar yang didorong kelak punya kemampuan intelektual lebih dan bisa
mengembangkan dirinya sendiri. Menurut HM. Sattar, metode yang dipakai
pak Hazim dalam mendidik seorang actor adalah “menggelinding”. “Cara
almarhum dalam mendidik teman-teman sebagai aktor bersifat
“partisipatoris”, maksudnya beliau selalu memberi “ruang” pada sang
aktor untuk menunjukkan karakter dirinya sendiri secara kuat.
‘Menggelinding’ juga dimaksudkan bahwa beliau tidak melakukan rekayasa
yang berlebih pada penampilan sang aktor. Misalnya seorang yang diberi
peran anak-anak, maka dia tidak harus dikuncir atau di-make up lebih
untuk menjadi anak-anak. Disini sang aktor ditantang untuk dapat tampil
kuat dalam penghayatan sikap dan perilaku anak-anak. Seringkali almarhum
memberi kebebasan dialog dan mengimprovisasi gerak dalam berteater
selama hal itu tidak menyimpang dari pokok naskahnya.”
“Manajemen ‘Mengglinding’ menjadi ciri khas pak Hazim,” ucap pak Sattar,
“Disini dimaksudkan bahwa secara tegas almarhum biasanya akan menunjuk
siapa dan menjabat sebagai apa. Pak Hazim Amir akan menggunakan pola
saling dukung antar pemain atau kerja sama. Namun hal ini dilakukan
secara ‘Feksibilitas’ dan ‘egaliter’ khas ala almarhum pak Hazim. Cara
melatih semacam ini merupakan upaya memanusiakan manusia di dalam dunia
teater.”
HM. Sattar memang dikenal memiliki keakraban yang cukup dengan almarhum,
beliau dalam teater “Mlarat” sering di dapuk sebagai manajer produksi.
Kedekatan Sattar dengan almarhum Hazim Amir mungkin karena kesamaan
profesi sebagai dosen, seniman dan juga mungkin karena kedekatan tempat
tinggalnya. “Nasehat pak Hazim kepada saya dan kawan-kawan di teater
“Mlarat”, ‘sebagai seniman kita jangan pernah minta-minta (mengemis),
karena itu sebelum menjadi seniman semestinya kita menjadi ‘orang’
terlebih dulu,” tutup lelaki berperawakan besar dengan suara lantang dan
sedikit beraksen Madura. Seirama dengan hal diatas diungkap juga oleh
Bapak Djati Kusumo, personel lawak ‘Kwatet S’, “Almarhum pak Hazim
mengatakan kepada saya begini, ‘Jadi Seniman itu jangan mata duitan,
sebab akan melunturkan nilai karya kesenimanannya. Karena itu seniman
mesti harus bisa memanej keuangannya sendiri.”
Bapak DR. Hazim Amir sebagai seorang intelektual tinggi, sebagai seorang
budayawan besar, sebagai seorang Sutradara teater handal dan seorang
intelektual yang memiliki banyak pengalaman. Hal demikian terungkap
dalam tuturan mantan aktornya yang bernama Herman Budiono. Menurut
Herman, “Sebagai seorang sutradara yang berpengalaman dan hebat,
almarhum Hazim Amir rasanya tidak pernah memaksakan peran kepada
seseorang. Beliau tidak melayani ‘pesanan’. Beliau senantiasa bersikap
terbuka dan jujur. Menyangkut peran, Hazim Amir selalu memberikan peran
pada orang atau aktor yang tepat. Contohnya, terhadap seorang aktornya
yang bernama Dengkek. Karena aktor bernama Dengkek ini kebetulan
berperawakan kecil dan bersifat meledak-ledak, maka oleh almarhum
dicarikan peran yang sesuai dengan sifat dirinya. Maksud almarhum tentu
ingin mengatakan bahwa setiap aktor harus bisa tampil kuat dengan
karakternya sendiri. Dia harus bisa mengembangkan potensi dan jati
dirinya sendiri untuk memerankan lakon yang diperankannya.”
Dikenang luas bahwa Hazim Amir sebagai tokoh yang “mandegani” teater
“Mlarat” di Malang. Menurut Profesor Henry, sahabat almarhum di teater
“Mlarat”, “Almarhum Bapak DR. Hazim Amir ini banyak terilhami oleh Jerzy
Grotowski, seorang Dramawan besar, alumnus Lunacharsky Institute of
Theater Arts. Hazim Amir memang kuat pada sisi penyutradaraan. Seingat
saya, almarhum juga terinspirasi dramawan besar Sovyet bernama
Stanislavky yang mementingkan karakter keaktoran dalam teater. Almarhum
senantiasa menekankan pada ‘ke-aktor-an’ yang kuat, imajinasi yang kuat,
berdisiplin tinggi dalam latihan dan terus membaca” demikian tuutur
Profesor Henry, seorang budayawan yang turut membidani lahirnya Dewan
Kesenian Malang. “ Tahun 1979, Kota Malang dipilih menjadi tempat
pertemuan Dewan Kesenian se Indonesia. Almarhum Hazim Amir-lah tokoh
dibalik peristiwa besar itu. Di pertemuan itu dihadiri Rustadi Karta
Kusuma, Ikra Negara, Ramadhan KH. yang kemudian dijumpakan dengan Bapak
Wali Kota Malang Bapak Kolonel Sugiono. Bahkan pak Sugiono terkesan
dengan cara penampilan pak Hazim yang mengenakan kaos oblong putih dan
celana jeans,” tutup Prof. Henry kemudian meneruskan dengan membaca 3
buah puisi.
Kala itu, dunia teater di Indonesia belum dapat dijadikan profesi, belum
dapat dijadikan pegangan “hidup”, terutama secara ekonomi. Hal ini
selalu diingkatkan oleh almarhum kepada setiap actor dan para
sahabatnya. Seputar penciptaan aktor, Herman Budiono mengisahkan,
“Begitu cintanya pak Hazim kepada dunia teater, sampai beliau tidak
mengenal kata lelah dalam berpikir dan melatih. Disela latihan sering
beliau mengingatkan kita untuk tidak mengandalkan hidup dari dunia
teater; tapi justru sebaliknya, kita harus bisa menghidupi teater.
Jangan main teater hanya untuk mencari tepuk tangan, tapi jadikan teater
sebagai arena belajar ‘hidup’ agar kelak kita dapat menjadi manusia
seutuhnya. Berkesenian itu adalah panggilan. Berkesenian itu harus
ihklas sehingga kita bisa lebih menikmatinya.”
Sejak tahun 1964 sampai dengan tahun 1967, Bapak Hazim Amir aktif
membina “Teater Kecil”, bersama Bapak Emil Sanossa, Bapak Harsono, Bapak
Munajat, Timoer Djaelani, Timur Supeno. Pada 5 Desember tahun 1974
beliau bersama M.A. Icksan, IGN. Oka, Katjik Sutjipto, Harsono, Henri
Supriyanto, Yasso Winarto, Djati Koesoemo, Janalis Janait dan Imam
Hanafi merintis berdirinya Dewan Kesenian Malang. Pada saat itu juga
beliau menjadi salah satu pengurus Dewan Kesenian Malang periode
pertama. Tahun 1980 beliau mendirikan Teater “Mlarat” bersama M.Sattar,
Parto, Dengkek dan kaawan-kawan. Teater “Mlarat” ini sempat mementaskan
naskah besar karya Arifin C. Noer berjudul “Dalam Bayangan Tuhan”.
Professor Henry Supriyanto mengingatkan bahwa ketokohan pak Hazim Amir
sebagai Seniman dan Budayawan Indonesia sudah diakui publik secara luas,
“Budayawan besar seperti Emha Ainun Najib, Umar Kayam, Halim HD atau
Suprapto Suryodarmo yang semuanya adalah pemikir dan pelaku budaya itu
menaruh hormat kepada beliau,” tegas Profesor Henry berkenang ria.
Tak hanya itu, kebesaran almarhum sebagai seorang pendidik juga sudah
diakui oleh koleganya yang tersebar luas di Indonesia. Terkait hal ini
profesor Djoko Saryono menuturkan, “Hazim Amir sebagai seorang pendidik
yang handal, selama itu juga beliau bisa dianggap telah menjaga
metabolisme kebudayaan dan peradaban agar tetap sehat. Pola pendidikan
yang dianut beliau bersifat Dialogis dan Humanistik.” Sifat humanistik
ini dikisahkan Bung Yon Wahyuono pada sebuah kesempatan kepada penulis,
“Hazim Amir sebagai budayawan suatu ketika merasa ‘geram’ mendapati
situasi dunia, suasana yang tidak manusiawi, dimana negara-negara
adidaya bersikap arogan kepada negara-negara miskin dan berkembang. Kala
itu, Amerika terang-terangan hendak menyerang Irak dan Iran dengan
alasan politik perminyakannya. Perlakuan Amerika yang tidak adil ini
tentu akan memakan korban penduduk sipilnya. Disaat seperti itulah
seorang Hazim Amir berteriak lantang. Teriakannya ia tulis dalam sebuah
puisi pendek dan sempat dimuat dimedia Suara Indonesia. Puisi pendek itu
kembali dibaca Bung Yon dengan suara tajam saat haul Hazim Amir di DKM.
Puisi itu hanya berbunyi: “Cuk!”, puisi yang secara tafsir mengandung
banyak persoalan dan meledak sebagai gugatan emosional yang intelektual.
Karya itu menjadi puisi terpendek di dunia sastra kita selama ini.
Kalau mengamati cara almarhum pada waktu itu menularkan ilmunya,
memang jauh berbeda, hal ini dikisahkan oleh professor Djoko Saryono
yang menjadi mahasiswanya, “Almarhum Bapak DR. Hazim Amir adalah
promotor dalam program doktoral saya di IKIP Malang. Selama dua tahun
yang setiap minggunya sekali atau dua kali, saya harus hadir di rumah
beliau untuk bimbingan desertasi saya. Dari perjumpaan yang intens
tersebut saya dapat mengatakan bahwa Hazim Amir itu memiliki “pikiran”
yang tersembunyi di dalam bahasa. Menurut saya, almarhum adalah salah
satu pendidik profetik yang dimiliki oleh universitas Negeri Malang
dengan cara mengajarnya yang dialogis, egaliter dan humanis. Saya kira
juga amat unik pada masanya meski tanpa kehilangan obyektivitas kepada
para mahasiswanya.”
Masih menurut Prof. Djoko, “Pada tahun 1984 almarhum menulis
desertasi doktoralnya hingga mencapai ketebalan 1500 halaman. Oleh sang
promotor, desertasi itu kemudian diminta untuk ditipiskan saja, meski
tanpa dibaca lebih dahulu. Akhirnya desertasi itupun mengalami
“pemangkasan” menjadi setebal 500 halaman. Desertasinya berorientasi
kepada “Nilai-nilai Etis Dalam Wayang dan Pendidikan Watak Guru” (1984).
Pemikiran Hazim Amir dalam Desertasi itu tentang “Pendidikan Karakter”
tersebut nyatanya baru dibicarakan 3 tahun terakhir ini. Hal semacam ini
menunjukkan bahwa pikiran beliau bukan saja visioner tapi sudah
antisipatoris. Hazim Amir sejatinya adalah seorang pemikir yang kuat dan
tajam, beliau boleh saya sebut sebagai ‘Resi’ namun juga ‘Begawan’
Peradaban yang memiliki jelajah sangat luas.
Karya-karya Hazim Amir sangat banyak baik dalam bentuk naskah drama,
terjemahan maupun naskah penyutradaraan. Karya feature, artikel, cerpen,
dan puisi terpublikasikan di berbagai media: Suara Indonesia , Surabaya
Post, Jawa Pos,harian Surya dan buletin kampus IKIP Malang. Karya tulis
dalam bentuk buku: “Nilai-nilai Etis Dalam Wayang ”, 1991, Jakarta,
Pustaka Sinar Harapan; “Hadiah Sang Bijak”, karya terjemahan bersama
sang istri, Astuti Amir, “Sepuluh Cerpen Dunia”, 1984, Jakarta, Puspa
Swara dan banyak lagi yang belum sempat diterbitkan.
In memoriam: DR. Hazim Amir-wafat pada Selasa Kliwon, 20 Mei 1997, pukul 07.35, dimakamkan di Pemakaman Umum Samaan Malang.
Malang, 26 Mei 2016.
Ditulis oleh: Bambang AW
Sumber:
- “Hazim Amir: Sang Humanis Transedental”, 16 Nopember 2015, Prof. DR. Djoko Saryono, diunggah di Blog, 26/5/2016-pk: 15.26
- Sarasehan Haul Hazim Amir tgl mei 2016 di Dewan Kesenian Malang
- Wawancara
- Repost Malang Pagi
CONVERSATION